Penulis: Dadang Saputra - Editor: Redaksi
Sayangnya, model pembangunan ekonomi Indonesia masih terlalu berorientasi pada kapital besar. Investasi yang masuk lebih banyak mengalir ke sektor industri padat modal, seperti keuangan dan teknologi, yang menghasilkan keuntungan besar bagi investor tetapi hanya menciptakan sedikit lapangan pekerjaan.
Akibatnya, kelompok kaya semakin menguasai pasar, sementara kelompok miskin dan kelas pekerja hanya menjadi penonton dalam pertumbuhan ekonomi. Daya beli masyarakat bawah pun stagnan, karena pertumbuhan upah tidak sebanding dengan inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Selain itu, ketimpangan di Indonesia juga dipicu oleh rendahnya mobilitas sosial akibat ketidaksetaraan dalam akses pendidikan. Anak-anak dari keluarga miskin sering kali kesulitan mengakses pendidikan berkualitas, yang pada akhirnya membatasi peluang mereka untuk memperoleh pekerjaan dengan upah layak.
Kesenjangan ini semakin diperparah dengan tingginya biaya pendidikan tinggi dan kualitas sekolah di daerah tertinggal yang masih jauh di bawah standar. Akibatnya, mereka yang lahir dari keluarga miskin memiliki kemungkinan besar untuk tetap miskin, sementara mereka yang lahir dalam keluarga kaya memiliki akses lebih besar untuk mempertahankan dan meningkatkan kekayaan mereka.
Baca Juga : Pakai Teknologi AI Seorang Remaja di Gresik Edit Puluhan Foto Wanita Jadi Foto Syur, Para Korban Kini Trauma
Selain pendidikan, aspek kesehatan juga memainkan peran krusial dalam ketimpangan ekonomi. Akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas masih sangat bergantung pada kemampuan ekonomi seseorang.
Meskipun program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah berjalan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak masyarakat berpenghasilan rendah masih kesulitan mendapatkan pelayanan medis yang layak. Ketika kesehatan terganggu, produktivitas pun menurun, dan ini semakin memperkuat lingkaran setan kemiskinan yang sulit diputus.
Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengoreksi ketimpangan adalah kebijakan fiskal yang progresif.
Namun, hingga saat ini, sistem perpajakan di Indonesia belum cukup kuat untuk menjalankan fungsi redistribusi secara optimal. Rasio pajak terhadap PDB masih tergolong rendah, sementara beban pajak lebih banyak ditanggung oleh kelompok menengah dan pekerja formal dibandingkan oleh kelompok kaya dan pemilik modal besar.
Pajak kekayaan dan pajak warisan yang dapat menjadi alat efektif dalam mengurangi ketimpangan hampir tidak terdengar dalam kebijakan fiskal nasional.
Ketimpangan ekonomi yang terus melebar bukan hanya masalah statistik, tetapi juga ancaman nyata bagi stabilitas sosial dan politik. Ketidakadilan dalam distribusi pendapatan dapat menimbulkan frustrasi sosial yang berujung pada ketidakstabilan.
Sejarah telah membuktikan bahwa ketimpangan yang ekstrem sering kali menjadi pemicu utama berbagai bentuk kerusuhan sosial, meningkatnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah, hingga melemahnya legitimasi negara di mata rakyatnya.
Jika Indonesia ingin keluar dari jebakan pertumbuhan yang tidak inklusif, strategi pembangunan harus diubah agar benar-benar mengutamakan pemerataan. Investasi dalam sektor pendidikan dan kesehatan harus diprioritaskan, bukan hanya sebagai program sosial, tetapi sebagai strategi ekonomi jangka panjang.
Peningkatan akses terhadap pendidikan berkualitas, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah, akan membantu mereka meningkatkan keterampilan dan daya saing di pasar tenaga kerja. Hal ini pada akhirnya akan mendorong mobilitas sosial yang lebih dinamis dan mengurangi ketimpangan antar-generasi.
Pemerintah juga harus lebih serius dalam menciptakan kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis tenaga kerja, bukan hanya berbasis modal. Sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, seperti manufaktur dan pertanian modern, harus didorong dengan kebijakan insentif yang tepat.
Selain itu, Umkm yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi rakyat harus mendapatkan dukungan lebih besar, baik dalam bentuk akses permodalan, teknologi, maupun perlindungan pasar dari persaingan dengan korporasi besar.